Dalam hiruk-pikuk perayaan Hari Kartini, seorang perempuan dari tanah Jawa yang menyuarakan keadilan bagi kaum perempuan. Pembahasan seputar perempuan tidak akan pernah habis rasanya. Mulai dari masa jahiliyah, dimana perempuan sungguh-sungguh hina hingga dianggap sebagai terhina keluarga karena dinilai tidak berguna, dan diposisikan menjadi kategori kelas dua yang dapat diperlakukan seenaknya. Ada juga masa ketika perempuan dijadikan budak yang dapat diperjual belikan pun tidak mempunyai hak memiliki kehidupan yang tidak lebih dari ‘pelayan’.
Sampai pada masa modern seperti sekarang ini, dimana perempuan diperlakukan sebagai manusia dan dapat memilih apa yang ingin dia jalani. Belajar seputar apa saja yang ia berkeinginan dimana saja itu. Bekerja pantas dengan ketertarikan dan bidang yang ia kuasai. Menjalin slot kakek tua hubungan dan berumah tangga dengan siapa saja tanpa paksaan. Pun mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan.
Segera, apakah sampai disitu saja kesetaraan yang diinterpretasikan?
Meski mendapatkan hak untuk belajar dan bekerja bahkan memilih dan dipilih dalam kontes politik, namun kesetaraan itu hanya untuk perempuan kelas menengah keatas dan tidak didapat perempuan berstatus kelas menengah kebawah.
Saat bekerja pun perempuan masih kerap kali kali diperlakukan dengan tidak adil. Mulai dari upah yang lebih rendah diperbandingkan laki-laki, tidak diberi kans untuk mengatur posisi manajerial, sampai mendapatkan kekerasan seksual di tempat kerja.
Demikian pun perempuan yang sukses di bidang pendidikan akan kembali dicibir. Berbeda dengan laki-laki yang seperti itu ditunjang dan dielu-elukan atas kesuksesannya. Perempuan malah dihakimi dan dijudge sebagai orang yang mengutamakan ambisi dan dinilai ingin menang sendiri seakan-akan kehidupan sudah bertransformasi menjadi gelanggang kompetisi.
Di Indonesia, sungguh-sungguh familiar ucapan “percuma sekolah tinggi tinggi, ujung-ujungnya pasti jadi ibu rumah tangga juga,” atau ”ngga usah sekolah tinggi tinggi, nanti ngga laku” atau “ngga usah capek capek kerja, ujung-ujungnya juga bakalan ke dapur, urus si kecil, bla bla bla…” ataupun hal serupa yang mengatakan bahwa perempuan tidak wajib memiliki pendidikan maupun karir yang gemilang. Dalam ucapan itu pun tersirat akan makna, dimana sistem pandang masyarakat atau konstruksi sosial mengatur peran perempuan yang hanya berkisar di sebuah ruang yang bernama lingkup dalam negeri.
Melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, menyapu dan mengepel rumah seakan sudah menjadi tugas untuk pihak perempuan (ibu, istri, si kecil perempuan). Pun ada beberapa kasus dimana seorang wanita karir yang juga berperan sebagai ibu rumah tangga wajib merelakan pekerjaan yang sudah mereka geluti sejak lama karena tuntutan untuk menjaga si kecil dan mengurus rumah tangga.
Kebanyakan perempuan akan merasa dirinya bertanggung jawab akan hal-hal yang berurusan dengan slot garansi 100 pekerjaan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena di lingkungan kita bertumbuh dan pola asuh dari kultur patriarki yang turun-temurun membentuk pola pikir yang seksis.
Seringkali kita diajari, perempuan wajib jago memasak, membersihkan rumah, dan mengurus si kecil. Sedangkan laki-laki wajib tahu bagaimana sistem mencari nafkah dan menjadi pemimpin. Pembagian tugas inilah yang hasilnya terus terbawa dan menjadi kultur kemudian dijadikan patokan sebagai kodrat bagi perempuan dan laki-laki.
Apakah perempuan tidak bisa mencari nafkah? Apakah hanya laki-laki saja yang bisa menjadi pemimpin dan mengambil keputusan? Apakah laki-laki memang tidak boleh menjalankan perkerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, dan lainnya?
Bila R.A. Kartini menyuarakan hal ini sudah lebih dari seratus tahun lalu, maka akan dibutuhkan ratusan tahun lagi agar masyarakat dapat menimbulkan perilaku kesadaran akan kesetaraan. Demikian banyak gerakan-gerakan sosial yang menyuarakan hak-hak kesetaraan gender, ada yang beberapa mempelajari apa itu kesetaraan dan mengajarkannya kepada khalayak luas. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang kini bekembang kencang memudahkan kita untuk lebih banyak menggaungkan dan mengajarkan apa itu keadilan dan kesetaraan. Kesetaraan bukan hanya menjadi concern bagi perempuan namun juga bagi laki-laki. Baik itu muda maupun tua. Dari slot bet kecil berjenis-macam tingkat status sosial, berjenis-jenis ras dan warna kulit.
Selamat Hari Kartini.